Cerpen"Matahari Tak Terbit Pagi ini karya Fakhrunnas MA. Jabbar" Pernahkah kau merasakan sesuatu yang biasa hadir mengisi hari-harimu, tiba-tiba lenyap begitu saja? Hari-harimu pasti berubah jadi pucat pasi tanpa gairah. Saat kau hendak mengembalikan sesuatu yang hilang itu dengan sekuat daya, tetapi tak kunjung tergapai. Kau
Matahari Tak Terbit Pagi Ini Oleh Fakhrunnas MA Jabbar Orientasi Pernahkah kau merasakan sesuatu yang biasa hadir mengisi hari-harimu, tiba-tiba lenyap begitu saja. Hari-harimu pasti berubah jadi pucat pasi tanpa gairah. Saat kau hendak mengembalikan sesuatu yang hilang itu dengan sekuat daya, namun tak kunjung tergapai. Kau pasti jadi kecewa seraya menengadahkan tangan penuh harap lewat kalimat doa yang tak putus-putusnya. Bukankah kau jadi kehilangan kehangatan karena tak ada helai-helai sinar ultraviolet yang membuat senyumnya begitu ranum selama ini. Matahari bagimu tentu tak sekadar benda langit yang memburaikan kemilau cahaya, tetapi sudah menjadi sebuah peristiwa yang menyatu dengan ragamu. Bayangkanlah bila matahari tak terbit lagi. Tidak hanya kau tapi jutaan orang kebingungan dan menebar tanya sambil merangkak hati-hati mencari liang langit, tempat matahari menyembul secara perkasa dan penuh cahaya. Kaulah matahari itu, bidadariku. Berhari-hari kau merekat kasih hingga tak terkoyak oleh waktu, tiba-tiba kita harus berpencar di bawah langit menuju sudut-sudut yang kosong. Kekosongan itu kita bawa melewati jejalan kesedihan. Kita harus terpisah jauh menjalani kodrat diri yang termaktub di singgasana luhl mahfudz. Semula kita begitu dekat. Lantas terpisah jauh oleh lempengan waktu. Kita mengisi halaman-halaman kosong kehidupan kita dengan denyut nadi. Sesudahnya, kita bertemu bagai angin mengecup pucuk-pucuk daun dan berlalu begitu mudah. Dan kita pun bertemu lagi dengan perasaan yang asing hingga kita begitu sulit memahami siapa diri kita sebenarnya. Di ruang kosong yang semula dipenuhi pernik cahaya matahari, kita bertatap muka penuh gairah. Di penjuru ruang kosong itu bergantungan bola-bola rindu penuh warna dan aroma. Bola-bola itu bergesekan satu dengan lain mengalirkan irama-irama lembut Beethoven atau Papavarotti. Irama itu menyayat-nyayat hati kita hingga mengukir potongan sejarah baru. Bagaikan sepasang angsa putih yang menari-nari di bawah gemerlapan cahaya langit, sejarah itu terus ditulisi berkepanjangan. Lewat ratusan kitab, laksa aksara. Namun, setiap perjalanan pasti ada ujungnya. Setiap pelayaran ada pelabuhan singgahnya. Setiap cuaca benderang niscaya ditingkahi temaram bahkan kegelapan. Andai sejarah boleh terus diperpanjang membawa mitos dan legendanya, maka dirimu boleh jadi termaktub pada pohon ranji sejarah itu. Boleh jadi, kau akan tampil sebagai permaisuri ataupun Tuanku Putri yang molek. Mungkin, berada di bawah bayang-bayang Engku Putri Hamidah, Puan Bulang Cahaya atau pun siapa saja yang pernah mengusung regalia kerajaan yang membesarkan marwah perempuan.

RusmanHadi mengangguk. Udara yang lebih hangat menyentuh kulit mereka begitu pintu terbuka. Rusman Hadi membuka tirai. Sinar matahari menerobos melalui kaca jendela dan membuat debu-debu di lantai serta meja terlihat jelas. "Inilah penjara bagi kita, penjara bagi orang-orang yang kalah," teriak Ali Akbar.

Matahari Tak Terbit Pagi Ini PERNAHKAH kau merasakan sesuatu yang biasa hadir mengisi hari-harimu, tiba-tiba lenyap begitu saja. Hari-harimu pasti berubah jadi pucat pasi tanpa gairah. Saat kau hendak mengembalikan sesuatu yang hilang itu dengan sekuat daya, namun tak kunjung tergapai. Kau pasti jadi kecewa seraya menengadahkan tangan penuh harap lewat kalimat doa yang tak putus-putusnya. Seperti hari ini, matahari tak terbit sama sekali. Bukankah kau jadi kehilangan kehangatan karena tak ada helai-helai sinar ultraviolet yang membuat senyumnya begitu ranum selama ini. Matahari bagimu tentu tak sekadar benda langit yang memburaikan kemilau cahaya tetapi selama ini sudah menjadi sebuah peristiwa yang menyatu dengan ragamu. Bayangkanlah bila matahari tak terbit lagi. Tidak hanya kau tapi jutaan orang kebingungan dan menebar tanya sambil merangkak hati-hati mencari liang langit, tempat matahari menyembul secara perkasa dan penuh cahaya. Kaulah matahari itu, bidadariku. Berhari-hari kau merekat kasih hingga tak terkoyak oleh waktu, tiba-tiba kita harus berpencar di bawah langit menuju sudut-sudut yang kosong. Kekosongan itu kita bawa melewati jejalan kesedihan. Kita harus terpisah jauh menjalani kodrat diri yang termaktub di singgasana luhl mahfudz. Semula kita begitu dekat. Lantas terpisah jauh dipisahkan lempengan waktu. Kita mengisi halaman-halaman kosong kehidupan kita dengan denyut nadi. Sesudahnya, kita bertemu bagai angin mengecup pucuk-pucuk daun dan berlalu begitu mudah. Dan..kita pun bertemu lagi kemudian dengan perasaan yang asing hingga kita begitu sulit memahami siapa diri kita sebenarnya. Tapi, kau memang telah menjadi dirimu sejak lama. Aku pun. Di ruang kosong yang semula dipenuhi pernik cahaya matahari, kita bertatap muka penuh gairah. Di penjuru ruang kosong itu bergantungan bola-bola rindu penuh warna dan aroma. Bola-bola itu bergesekan satu dengan lain mengalirkan irama-irama lembut Beethoven atau Papavarotti. Irama itu menyayat-nyayat hati kita hingga mengukir potongan sejarah baru. Bagaikan sepasang angsa putih yang menari-nari di bawah gemerlapan cahaya langit, sejarah itu terus ditulisi berkepanjangan. Lewat ratusan kitab, laksa aksara. Namun, setiap perjalanan pasti ada ujungnya. Setiap pelayaran ada pelabuhan singgahnya. Setiap cuaca benderang niscaya ditingkahi temaram bahkan kegelapan. Matahari memang tak terbit pagi ini. Siapa pun di sini terpercik kegelapan. Andai kau juga ada di sini, akan menyerahkah untuk kalah? Aku tak. Seperti langkah Sang Sapurba yang turun dari Bukit Seguntang dulu hingga menyemai akar-akar Melayu di antara pertembungan Riau-Johor-Tumasik hingga Malaka, Siak atau Pekantua. Hingga juga ke hamparan pulau-pulau yang terkepung di Selat Melaka. Ya, tanah leluhurmu dan kampung halaman mu pula. Andai sejarah boleh terus diperpanjang membawa mitos dan legendanya, maka dirimu boleh jadi termaktub dan pohon ranji sejarah itu. Boleh jadi, kau akan tampil sebagai permaisuri atau pun Tuanku Putri yang molek. Mungkin, berada di bawah bayang-bayang Engku Putri Hamidah, Puan Bulang Cahaya atau pun siapa saja yang pernah mengusung regalia kerajaan yang membesarkan marwah perempuan. Aku tiba-tiba jadi kehilangan sesuatu yang begitu akrab di antara kutub-kutub kosong itu. Kusebut saja, kutub rindu. Aku tak mungkin menuangkan tumpukan warna di kanvas yang penuh garis dan kata-kata sebab lukisan agung ini tak kunjung selesai. Masih diperlukan banyak sentuhan kuas dan cairan cat warna-warni hingga lukisan ini mendekati sempurna. Kita telah menggoreskan kain kanvas kosong itu sejak mula hingga waktu jeda yang tanpa batas. Masih ingatkah kau bagaimana langit-langit kamar itu penuh getar dan kabar. Tiap pintu dan tingkap dipenuhi ikrar kita. Dan bola lampu temaram memburaikan janji-janji. Sebuah percintaan agung sedang dipentaskan di bawah arahan sutradara semesta. Kau membilang percik air yang berjatuhan di danau kecil di sudut pekarangan jiwa dalam kecup dan harum mawar. Bahkan, tubuh kita terguyuri embun yang terbang menembus kisi-kisi tingkap hingga jadi begitu dingin. Malam-malam penuh mimpi dan keceriaan bagaikan sepasang angsa yang mengibas-ngibaskan bulu-bulu beningnya. Kau redupkan cahaya lampu di tiap penjuru hingga sejarah dapat dituliskan secara khidmat dan penuh makna. Kau menatap langit-langit kamar sambil membisikkan untaian puisi yang kau tulis dengan desah napasmu. Kita merecup semua getar irama percintaan itu tiada batas. Malam itu siapa pun tak butuh matahari. Sebab, ada bulan yang bersaksi. Kita hanya butuh setitik cahaya guna penentu arah belaka. Selebihnya sunyi menyebat kita dan tiupan angin yang melompat lewat kisi-kisi jendela yang agak terdedah. Dengan apakah kulukiskan pertemuan kita,Kekasih? Chairil sempat bertanya seketika. Ah, tak cukup kata memberi makna, katamu. Dan isyarat sepasang angsa yang saling menggosokkan paruh-paruhnya. Bagaikan peladang kita pun sudah pula bertanam dan menebar benih. Kelak, katamu, akan ada buah yang bakal dipetik sebagai kebulatan hati yang begitu mudah terjadi tanpa paksa dan janji. Dan kita pun terus saja bertanam agar daun-daun yang bertumbuh kelak dapat menangkap fotosintesa matahari. Di tiap helai daun itu bermunculan nama kita sebagai sebuah keabadian. Andai matahari tak terbit lagi saat pagi merona, kita masih menyimpan sedikit cahaya di helai-helai daun yang berguncang dihembus angin sepanjang hari. Sungguh, matahari tak terbit pagi ini. Bagai aku kehilangan dirimu yang berhari-hari menangkap cahaya hingga memekarkan kelopak bunga di jiwa. Percintaan ini penuh wangi dan warna. Penuh hijau daun dan kupu-kupu yang menyemai spora di mahkota bunga. Begitulah saat kau berada jauh kembali ke garis hidupmu, aku begitu ternganga sebab cahaya tak ada. Memang, tak pernah matahari tak terbit memeluk bumi. Tapi, bagi kita, kala berada jauh, keadaan begitu gelap dan sunyi tiba-tiba. Kita merasa begitu kehilangan. Kita merasa ada yang terenggut tanpa sengaja. Serasa ada yang tercerabut dari akar yang semula menghunjam jauh di tanah. Kita bagaikan orang tak punya pilihan saat berada di persimpangan tak bertanda. Syukurlah, kita tak pernah kehilangan arah tempat bertuju di perjalanan berikutnya. Hidup ini penuh gurindam dan bidal Melayu yang memagari ruang dan langkah kita menuju titik terjauh yang harus dilompati. Kata-kata yang berdesakan di bait puisi dan lirik lagu menebar wangi hari-hari. ………… takkan kutemui wanita seperti dirimu takkan kudapatkan rasa cinta ini kubayangkan bila engkau datang kupeluk bahagia kan daku kuserahkan seluruh hidupku menjadi penjaga hatiku Suara Ari Lasso lewat Penjaga Hati itu mengalir pelan-pelan dari tembok-tembok kegelapan yang mengepungku. Benar kata emak dulu, kita akan tahu akan makna sesuatu ketika ia telah berlalu. Apalagi berada jauh yang tak tersentuh. Matahari tak terbit pagi ini. Begitulah kita merasakan saat diri kita berada di kutub yang berjauhan. Diperlukan garis waktu untuk mempertemukan kedua tebing kutub itu. Atau, kita harus kuat merenangi laut salju yang kental atau menyelam di bawah bongkahan es yang dingin menyengat tubuh. Begitu diperlukan segala daya untuk menemukan sesuatu yang lenyap begitu cepat saat diri memerlukan setitik cahaya. Apa perasaanmu kini? Kau telan kesendirian itu di kejauhan sambil berharap matahari akan bercahaya segera menerangi kisi-kisi hati yang tersaput luka rindu kita. Andai kita bisa menolak gumpal awan dan menyeruakkan matahari kembali, begitulah takdir yang hendak kita bentangkan di kitab sejarah sepanjang masa. Tapi, kita akan cepat lelah. Menyeruakkan awan untuk menyembulkan garang matahari bukanlah hal yang mudah. Kita butuh sejuta tangan dan cakar untuk menaklukkan segenap awan dan matahari itu. Kau ingat kan, kisah Qays dan Laila atau Romeo dan Juliet yang memburaikan banyak kenangan bagi jutaan orang. Kau pun ada dalam bagian kisah yang tak pernah lekang di panas dan lapuk di hujan itu. Selalu ada manik-manik kasih mengalir di samudera kehidupan yang maha-luas ini. Meski kadangkala suaramu tersekat melempar tanya kala anugerah kasih ini terbit di ujung usia. Tak bolehkah kita mereguk kebahagiaan di sisa waktu yang masih tersedia meski semua jalan yang terbuka di depan bagai tak berujung jua. “Aku takut bila aku berubah…Tapi, tak akan pernah, pangeranku” ucapmu pelan. 3600 detik/ 7 hari/ 365 hari…garis panjang waktu itu mendedahkan kemungkinan-kemungkinan yang sulit diraba. Banyak ancaman yang siap mengepung kita hingga merobek tabir setia. Ya, kesetiaan tak kasat-mata. Hanya ada di bilik hati. Ingin aku menjenguk bilik hatimu setiap saat, tapi tak bisa. Pintu hati itu tak setiap waktu bisa terbuka. Andai kau bangun esok pagi, nantikan selalu matahari akan terbit seperti janji yang diucapkannya pada semesta. Di helai cahaya matahari itu selalu ada kehangatan yang meresap di keping-keping jiwamu. Aku pun.*** Pekanbaru-Jakarta, 071007

NAMA ANGGOTA 1 Dila Febrianti(11 2 Diva Maulida(12 3 Munifaturrohmah(25 4. Tuxdoc.com_analisis-cerpen-matahari-tak-terbit-pagi-ini-xi-mipa-1pptx.pdf . School SMAN 1 Malang; Course Title INDONESIA 321 NAMA ANGGOTA 1. Dila Febrianti 11 2. Diva Maulida 12 3. Munifaturrohmah 25 4. Poppy Anggraini 27 XI MIPA 1 Sinopsis Cerpen Pernahkah kau merasakan sesuatu yang biasa hadir mengisi hari-harimu, tiba-tiba lenyap begitu saja? Begitulah saat kau berada jauh kembali ke garis hidupmu, aku begitu ternganga sebab cahaya yang tak Hari-harimu pasti berubah jadi pucat pasi tanpa gairah. Bayangkanlah, bila matahari tak terbit lagi. Tidak hanya ada. Tetapi, bagi kita kala berada jauh, keadaan begitu gelap dan sunyi tiba-tiba. Kita merasa begitu kau , tapi jutaan orang kebingungan dan menebar tanya sambil merangkak hati-hati mencari liang langit, tempat kehilangan. Kata-kata yang berdesakan di bait puisi dan lirik lagu menebar wangi hari-hari. matahari menyembul secara perkasa dan penuh cahaya. Suara Ari Lasso lewat “penjaga hati” itu mengalir pelan-pelan dari tembok-tembok kegelapan yang Kaulah matahariku, bidadariku. Berhari-hari kau merekat kasih hingga tak terkoyak oleh waktu, tiba-tiba mengepungku. Benar kata mak dulu, kita akan tahu akan makna sesuatu ketika ia telah berlalu. Apalagi harus berpencar dibawah langit menuju sudut kosong. Kita harus terpisah untuk menjalani kodart masingberada jauh yang tak tersentuh. Apa perasaanmu kini? Kau telan kesendirian itu di kejauhan sambil masing diri. Di singgasana Lauful Mahfud. Kita isi halaman kosong itu dengan denyutan nadi. Dan akhirnya berharap matahari akan bercahaya segera menerangi kisi-kis hati yang tersapu luka rindu kita. Kau kitapun bertemu lagi dengan perasaan asing. ingatkan, kisah Qais dan Laila atau Romeo dan Juliet yang memburaikan banyak kenangan bagi jutaan orang? Kaupun ada dalam bagian kisah yang tak pernah lekang di panas dan lapuk di hujan itu. Andai sejarah boleh terus diperpanjang membawa mitos dan legendanya, boleh jadi kau akan tampil sebagai permaisuriku yang molek. Aku tiba-tiba jadi kehilangan sesuatu yang begitu akrab, diantara kutubGaris panjang waktu itu mendedahkan kemungkinan-kemungkinan yang sulit di raba. Banyak ancaman kutub kosong. Ketika juga telah menggoreskankain kanvas kosong itu sejak mula hingga waktu jeda yang tanpa yang siap mengepung kita hingga merobek tabir setia. Ya, kesetiaan tak kasat mata. Andai kau bangun esok batas. Malam itu, siapapun tak butuh matahari. Sebab, ada bulan yang bersaksi. Kita hanya butuh setitik cahaya pagi, perkanankan selalu matahari terbit seperti janji yang di ucapkannya pada semesta. guna penentu arah belaka. Unsur-Unsur Intrinsik Paparan Tema Kerinduan keadaan orang yang dikasihi Pernahkah kau merasakan sesuatu yang terpaksa karena nasib yang bertolak biasa hadir mengisi hari-harimu, tiba-tiba belakang. lenyap begitu saja. Lantas berpisah jauh oleh lempengan waktu. Amanat Pentingnya seseorang yang dikasihi,kepergianya membuat hidup menjadi tidak bermakna tanpa orang yang dikasihi serta jangan menyianyiakan waktu kebersamaan dengannya. Begitulah saat kau berada jauh kembali ke garis hidupmu, aku begitu ternganga sebab cahaya tak ada. Memang, tak pernah matahari tak terbit memeluk bumi. Tapi, bagi kita, kala berada jauh. Keadaan begitu gelap dan sunyi tiba-tiba. Kita merasa begitu kehilangan. Kita merasa ada yang terenggut tanpa sengaja. Serasa ada yang tercabut dari akar yang semula menghunjam jauh di tanah. Penokohan Aku tokoh utama romantis, perhatian, dan penyabar Kamu/bidadari setia, tabah, dan murah senyum Aku sebagai tokoh utama cerita ini berwatak romantic, penuh pengertian, dan penyabar. Hal ini tampak dari perkataannya yang berbunga-bunga dan polesan- polesan yang sifatnya melebih-lebihkan. Walaupun ia harus berpisah dengan orang yang dikasihinya, yang itupun masih serba kemungkinan. Latar Latar tempat dikamar, di ruang kosong Latar waktu pada pagi hari, malam Latar suasana menyedihkan, memprihatinkan, mengecewakan Tempat a. di ruang kosong yang semula di penuhi Pernik cahaya matahari, kita bertatap muka penuh gairah. b. masih ingatkah kau bagaimana langit-langit kamar itu penuh getar dan kabar. Waktu a. malam itu siapapun tak butuh matahari. b. sungguh matahari tak terbit pagi ini. suasana hari-harimu jadi pucat pasi tanpa gairah. Sudut pandang Sudut pandang orang pertamatokoh utama Aku tiba-tiba kehilangan sesuatu yang begitu akrab di antara kutub-kutub kosong itu. Alur Alur campuran Masih ingatkah kau bagaimana langit-langit kamar itu penuh getar dan kabar. Struktur cerpen a. Pengenalan cerita 1-4 b. Pengungkapan peristiwa 5-12 c. Menuju konflik13-16 d. Puncak konflik 17-19 e. Penyelesaian 20-21 a. Pernahkah kau merasakan …. Kita mengisi halaman-halaman kosong…. b. Di ruang kosong yang semula dipenuhi Pernik cahaya matahari, …. Dan kita pun terus saja bertanam agar daun-daun yang tumbuh…. c. Sungguh, matahari tak terbit pagi ini…. takkan kutemui wanita seperti dirimu…. d. Suara Ari Lasso lewat…. Apa perasaanmu kini?.... e. Kau ingat kan, kisah Qays dan Laila…. Garis Panjang waktu itu …. Nilai-nilai 1. Agama Ulasan meyakini bahwa kehidupan kita sudah tertulis di luhl mahfudz. Kita harus terpisah jauh menjalani kodrat diri yang termaktub di singgasana luhl mahfudz. 2. Sosial Menggambarkan sebuah kerinduan pada orang yang terkasih. Diruang kososng yang semula dipenuhi Pernik cahaya matahari, kita bertatap muka penuh gairah. Di penjuru ruang kosong itu bergantung bola-bola rindu penuh warna dan aroma. 3. Budaya Berkaitan dengan mitos dan legenda. Andai sejarah boleh terus diperpanjang membawa mitos dan legendanya, maka dirimu boleh jadi termaktub pada pohon ranji sejarah itu. 4. Estetika Penggambaran dari latar dan tokoh yang diceritakan di dalam cerpen. Boleh jadi, kau akan tampil sebagai permaisuri ataupun tuanku putri yang molek. Kaidah Kebahasaan Kutipan dalam Cerita Kata ganti orang pertama/ketiga Aku, kita Kalimat bermakna lampau Malam itu Konjungsi kronologis Lantas, sesudahnya Sesudahnya, kita bertemu bagai angin mengecup pucuk-pucuk daun dan berlalu begitu mudah, Kata kerja yang menunjukkan kalimat langsung Menggunakan kata kerja yang menyatakan pikiran/perasaan Ucapmu ’’Aku takut bila aku berubah. Tapi tak akan pernah, pangeranku,” ucapmu pelan. Pernahkah kau merasakan sesuatu yang biasa hadir mengisi hari-harimu, tiba-tiba lenyap begitu saja. Menggunakan dialog Merasakan Aku ”Aku tak mungkin menuangkan tumpukan warna di kanvas yang penuh garis dan kata ibarat sebab lukisan agung ini tak kunjung selesai. Kita “kita mengisi halaman-halaman kosong kehidupan kita dengan denyut nadi. Malam itu siapa pun tak butuh matahari “Dengan apakah kulukiskan pertemuan kita, Kekasih?” Chairil sempat bertanya seketika. “Aku takut bila aku berubah. Tapi tak akan pernah, pangeranku,” ucapmu pelan.
Lagipulakamu tak pandai benar menentukan mata angin. Percayalah padaku. Ini arah barat! Kalau matahari terbit di barat, kiamatlah kita!" jawabku kesal. iya, kutunggu saja besok shubuh di sini. Bukankah setiap pagi Narti selalu menunggu matahari terbit dari Barat? Ia pasti ke sini. Tak ada matahari terbit di hadapanku. Ya, matahari
cerpenKata pengantar Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah Swt, yang telah memberikan rahmat serta karunianyakepada kami sehingga dapat menyelesaikan cerpen ini tepat pada waktunya. Cerpen ini berjudul "MATAHARITAK TERBIT PAGI INI". Kami menyadari bahwa cerita ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran darisemua pihak yang bersifat membangun, selalu kami harapkan demi kesempurnaan cerpen ini. Semoga cerpenini dapat memberikan wawasan yang lebih luas kepada pembaca. Akhir kata, kami ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta dalampenyusunan cerpen ini dari awal sampai akhir. Semoga Allah SWT senantiasa meridhoi segala urusan Depok, 2021 widia lestari PenulisDaftar IsiKata Pengantar…………………………………………. 2Daftar isi……………………………………………………. 3Isi cerpen ● Yang berstruktur orientasi……………………… 4-5● Yang berstruktur rangkaian peristiwa…….. 6-7● Yang berstruktur komplikasi…………………… 8● Yang berstruktur resolusi..………………………. 9Biografi……………………………………………………….. 10Matahari Tak Terbit Pagi Ini Oleh Fakhrunnas MA JabbarPernahkah kau merasakan sesuatu yang biasa hadir mengisi hari-harimu, tiba-tiba lenyap begitu pasti berubah jadi pucat pasi tanpa gairah. Saat kau hendak mengembalikan sesuatu yanghilang itu dengan sekuat daya, namun tak kunjung tergapai. Kau pasti jadi kecewa seraya menengadahkantangan penuh harap lewat kalimat doa yang tak kau jadi kehilangan kehangatan karena tak ada helai-helai sinar ultraviolet yang membuatsenyumnya begitu ranum selama ini. Matahari bagimu tentu tak sekadar benda langit yang memburaikankemilau cahaya, tetapi sudah menjadi sebuah peristiwa yang menyatu dengan ragamu. Bayangkanlah bilamatahari tak terbit lagi. Tidak hanya kau tapi jutaan orang kebingungan dan menebar tanya sambilmerangkak hati-hati mencari liang langit, tempat matahari menyembul secara perkasa dan penuh matahari itu, bidadariku. Berhari-hari kau merekat kasih hingga tak terkoyak oleh waktu, tiba-tibakita harus berpencar di bawah langit menuju sudut-sudut yang kosong. Kekosongan itu kita bawa melewatijejalan kesedihan. Kita harus terpisah jauh menjalani kodrat diri yang termaktub di singgasana luhlmahfudz. Semula kita begitu dekat. Lantas terpisah jauh oleh lempengan mengisi halaman-halaman kosong kehidupan kita dengan denyut nadi. Sesudahnya, kita bertemubagai angin mengecup pucuk-pucuk daun dan berlalu begitu mudah. Dan kita pun bertemu lagi denganperasaan yang asing hingga kita begitu sulit memahami siapa diri kita ruang kosong yang semula dipenuhi pernik cahaya matahari, kita bertatap muka penuh penjuru ruang kosong itu bergantungan bola-bola rindu penuh warna dan aroma. Bola-bola itubergesekan satu dengan lain mengalirkan irama-irama lembut Beethoven atau Papavarotti. Iramaitu menyayat-nyayat hati kita hingga mengukir potongan sejarah baru. Bagaikan sepasang angsaputih yang menari-nari di bawah gemerlapan cahaya langit, sejarah itu terus ditulisiberkepanjangan. Lewat ratusan kitab, laksa aksara. Namun, setiap perjalanan pasti ada pelayaran ada pelabuhan singgahnya. Setiap cuaca benderang niscaya ditingkahi temarambahkan sejarah boleh terus diperpanjang membawa mitos dan legendanya, maka dirimu boleh jaditermaktub pada pohon ranji sejarah itu. Boleh jadi, kau akan tampil sebagai permaisuri ataupunTuanku Putri yang molek. Mungkin, berada di bawah bayang-bayang Engku Putri Hamidah, PuanBulang Cahaya atau pun siapa saja yang pernah mengusung regalia kerajaan yang membesarkanmarwah tiba-tiba jadi kehilangan sesuatu yang begitu akrab di antara kutub-kutub kosong itu. Kusebut saja, kutub rindu. Aku tak mungkin menuangkan tumpukanwarna di kanvas yang penuh garis dan kata ibarat sebab lukisan agung ini tak kunjung selesai. Masih diperlukan banyak sentuhan kuas dan cairan cat warna-warnihingga lukisan ini mendekati sempurna. Kita telah menggoreskan kain kanvas kosong itu sejak mula hingga waktu jeda yang tanpa ingatkah kau bagaimana langit-langit kamar itu penuh getar dan kabar. Tiap pintu dan tingkap dipenuhi ikrar kita. Dan bola lampu temaram memburaikanjanji-janji. Sebuah percintaan agung sedang dipentaskan di bawah arahan sutradara semesta. Kau membilang percik air yang berjatuhan di danau kecil di sudutpekarangan jiwa dalam kecup dan harum tubuh kita terguyuri embun yang terbang menembus kisi-kisi tingkap hingga tubuh kita jadi dingin. Malam-malam penuh mimpi dan keceriaan bagaikansepasang angsa yang mengibas-ngibaskan bulu-bulu beningnya. Kau redupkan cahaya lampu di tiap penjuru hingga sejarah dapat dituliskan secara khidmat danpenuh makna. Kau menatap langit-langit kamar sambil membisikkan untaian puisi yang kau tulis dengan desah napasmu. Kita merecup semua getar iramapercintaan itu tiada itu siapa pun tak butuh matahari. Sebab, ada bulan yang bersaksi. Kita hanya butuh setitik cahaya guna penentu arah belaka. Selebihnya sunyi menyebat kitadan tiupan angin yang melompat lewat kisi-kisi jendela yang agak terdedah. Dengan apakah kulukiskan pertemuan kita, Kekasih? Chairil sempat bertanya tak cukup kata memberi makna, katamu. Dan isyarat sepasang angsa yang saling menggosokkan paruh-paruhnya. Bagaikan peladang kita pun sudah pulabertanam dan menebar benih. Kelak, katamu, akan ada buah yang bakal dipetik●sebagai kebulatan hati yang begitu mudah terjadi tanpa paksa dan kita pun terus saja bertanam agar daun-daun yang bertumbuh kelak dapat menangkap fotosintesa matahari. Di tiap helai daun itu bermunculan namakita sebagai sebuah keabadian. Andai matahari tak terbit lagi saat pagi merona, kita masih menyimpan sedikit cahaya di helai-helai daun yang berguncangdihembus angin sepanjang matahari tak terbit pagi ini. Bagai aku kehilangan dirimu yang berhari-hari menangkap cahaya hingga memekarkan kelopak bunga di ini penuh wangi dan warna. Penuh hijau daun dan kupu-kupu yang menyemai spora di mahkota saat kau berada jauh kembali ke garis hidupmu, aku begitu ternganga sebab cahaya tak ada. Memang, tak pernah matahari tak terbit memeluk bagi kita, kala berada jauh, keadaan begitu gelap dan sunyi tiba-tiba. Kita merasa begitu kehilangan. Kita merasa ada yang terenggut tanpa sengaja. Serasaada yang tercerabut dari akar yang semula menghunjam jauh di bagaikan orang tak punya pilihan saat berada di persimpangan tak bertanda. Syukurlah, kita tak pernah kehilangan arah tempat bertuju di perjalananberikutnya. Hidup ini penuh gurindam dan bidal Melayu yang memagari ruang dan langkah kita menuju titik terjauh yang harus dilompati. Kata-kata yangberdesakan di bait puisi dan lirik lagu menebar wangi kutemui wanita seperti dirimutakkan kudapatkan rasa cinta inikubayangkan bila engkau datangkupeluk bahagia kan dakukuserahkan seluruh hidupkumenjadi penjaga hatikuSuara Ari Lasso lewat “Penjaga Hati” itu mengalir pelan-pelan dari tembok-tembok kegelapan yang mengepungku. Benar kata emak dulu, kita akan tahu akanmakna sesuatu ketika ia telah berlalu. Apalagi berada jauh yang tak tak terbit pagi ini. Begitulah kita merasakan saat diri kita berada di kutub yang berjauhan. Diperlukan garis waktu untuk mempertemukan keduatebing kutub itu. Atau, kita harus kuat merenangi laut salju yang kental atau menyelam di bawah bongkahan es yang dingin menyengat tubuh. Begitudiperlukan segala daya untuk menemukan sesuatu yang lenyap begitu cepat saat diri memerlukan setitik perasaanmu kini? Kau telan kesendirian itu di kejauhan sambil berharap matahari akan bercahaya segera menerangi kisi-kisi hati yang tersaput luka rindukita. Andai kita bisa menolak gumpal awan dan menyeruakkan matahari kembali, begitulah takdir yang hendak kita bentangkan di kitab sejarah sepanjangmasa. Tapi, kita akan cepat lelah. Menyeruakkan awan untuk menyembulkan garang matahari bukanlah hal yang mudah. Kita butuh sejuta tangan dan cakaruntuk menaklukkan segenap awan dan matahari ingat kan, kisah Qays dan Laila atau Romeo dan Juliet yang memburaikan banyak kenangan bagi jutaan orang. Kau pun ada dalam bagian kisah yang takpernah lekang di panas dan lapuk di hujan itu. Selalu ada manik-manik kasih mengalir di samudra kehidupan yang mahaluas ini. Meski kadangkala suaramutersekat melempar tanya kala anugerah kasih ini terbit di ujung usia. Tak bolehkah kita mereguk kebahagiaan di sisa waktu yang masih tersedia meski semuajalan yang terbuka di depan bagai tak berujung jua. ”Aku takut bila aku berubah. Tapi tak akan pernah, pangeranku,” ucapmu panjang waktu itu mendedahkan kemungkinan-kemungkinan yang sulit diraba. Banyak ancaman yang siap mengepung kita hingga merobek tabir kesetiaan tak kasat-mata. Hanya ada di bilik hati. Ingin aku menjenguk bilik hatimu setiap saat, tapi tak bisa. Pintu hati itu tak setiap waktu bisa kau bangun esok pagi, nankan selalu matahari akan terbit seperti janji yang diucapkannya pada semesta. Di helai cahaya matahari itu selalu adakehangatan yang meresap di keping-keping Widia lestariDipanggil widiaLahir di Depok, Jawa Barat10 Agustus 2005Anak ke 2 dari pasangan ayah Rudy, dan Ibu EdahSaya SD di SDN RAWA DENOKSMP DI SMPN 9 DEPOKSekarang saya kelas X sepuluh di SMK Al-MuhtadinHobby saya bermain basket, foto-foto, make up you

Merahputih yang setengah tiang ini, merunduk di bawah garang. matahari, tak mampu mengibarkan diri karena angin lama Terbit pagi ini Panjang empat jari Dua kolom tegaklurus puisi Belajar Menulis Cerpen Cerpen Kompas 2004 Cerpen Kompas 2005 Cerpen Kompas 2006 Cerpen Kompas 2007 Cerpen Kompas 2008 kamu Koleksi panduan Pendekar Kapak Maut

Matahari Tak Terbit Pagi IniSebarkan iniPosting terkait Karya Fakhrunnas MA Jabbar Pernahkah kau merasakan sesuatu yang biasa hadir mengisi hari- harimu, tiba-tiba lenyap begitu saja. Hari-harimu pasti berubah jadi pucat pasi tanpa gairah. Saat kau hendak mengembalikan sesuatu yang hilang itu dengan sekuat daya, namun tak kunjung tergapai. Kau pasti jadi kecewa seraya menengadahkan tangan penuh harap lewat kalimat doa yang tak putus-putusnya. Bukankah kau jadi kehilangan kehangatan karena tak ada helai-helai sinar ultraviolet yang membuat senyumnya begitu ranum selama ini. Matahari bagimu tentu tak sekadar benda langit yang memburaikan kemilau cahaya, tetapi sudah menjadi sebuah peristiwa yang menyatu dengan ragamu. Bayangkanlah bila matahari tak terbit lagi. Tidak hanya kau tapi jutaan orang kebingungan dan menebar tanya sambil merangkak hati-hati mencari liang langit, tempat matahari menyembul secara perkasa dan penuh cahaya. Kaulah matahari itu, bidadariku. Berhari-hari kau merekat kasih hingga tak terkoyak oleh waktu, tiba-tiba kita harus berpencar di bawah langit menuju sudut-sudut yang kosong. Kekosongan itu kita bawa melewati jejalan kesedihan. Kita harus terpisah jauh menjalani kodrat diri yang termaktub di singgasana luhl mahfudz. Semula kita begitu dekat. Lantas terpisah jauh oleh lempengan waktu. Kita mengisi halaman-halaman kosong kehidupan kita dengan denyut nadi. Sesudahnya, kita bertemu bagai angin mengecup pucuk-pucuk daun dan berlalu begitu mudah. Dan kita pun bertemu lagi dengan perasaan yang asing hingga kita begitu sulit memahami siapa diri kita sebenarnya. Di ruang kosong yang semula dipenuhi pernik cahaya matahari, kita bertatap muka penuh gairah. Di penjuru ruang kosong itu bergantungan bola-bola rindu penuh warna dan aroma. Bola-bola itu bergesekan satu dengan lain mengalirkan irama-irama lembut Beethoven atau Papavarotti. Irama itu menyayat-nyayat hati kita hingga mengukir potongan sejarah baru. Bagaikan sepasang angsa putih yang menari-nari di bawah gemerlapan cahaya langit, sejarah itu terus ditulisi berkepanjangan. Lewat ratusan kitab, laksa aksara. Namun, setiap perjalanan pasti ada ujungnya. Setiap pelayaran ada pelabuhan singgahnya. Setiap cuaca benderang niscaya ditingkahi temaram bahkan kegelapan. Andai sejarah boleh terus diperpanjang membawa mitos dan legendanya, maka dirimu boleh jadi termaktub pada pohon ranji sejarah itu. Boleh jadi, kau akan tampil sebagai permaisuri ataupun Tuanku Putri yang molek. Mungkin, berada di bawah bayang-bayang Engku Putri Hamidah, Puan Bulang Cahaya atau pun siapa saja yang pernah mengusung regalia kerajaan yang membesarkan marwah perempuan. Aku tiba-tiba jadi kehilangan sesuatu yang begitu akrab di antara kutub- kutub kosong itu. Kusebut saja, kutub rindu. Aku tak mungkin menuangkan tumpukan warna di kanvas yang penuh garis dan kata ibarat sebab lukisan agung ini tak kunjung selesai. Masih diperlukan banyak sentuhan kuas dan cairan cat warna-warni hingga lukisan ini mendekati sempurna. Kita telah menggoreskan kain kanvas kosong itu sejak mula hingga waktu jeda yang tanpa batas. Masih ingatkah kau bagaimana langit-langit kamar itu penuh getar dan kabar. Tiap pintu dan tingkap dipenuhi ikrar kita. Dan bola lampu temaram memburaikan janji-janji. Sebuah percintaan agung sedang dipentaskan di bawah arahan sutradara semesta. Kau membilang percik air yang berjatuhan di danau kecil di sudut pekarangan jiwa dalam kecup dan harum mawar. Bahkan, tubuh kita terguyuri embun yang terbang menembus kisi-kisi tingkap hingga tubuh kita jadi dingin. Malam-malam penuh mimpi dan keceriaan bagaikan sepasang angsa yang mengibas-ngibaskan bulu-bulu beningnya. Kau redupkan cahaya lampu di tiap penjuru hingga sejarah dapat dituliskan secara khidmat dan penuh makna. Kau menatap langit- langit kamar sambil membisikkan untaian puisi yang kau tulis dengan desah napasmu. Kita merecup semua getar irama percintaan itu tiada batas. Malam itu siapa pun tak butuh matahari. Sebab, ada bulan yang bersaksi. Kita hanya butuh setitik cahaya guna penentu arah belaka. Selebihnya sunyi menyebat kita dan tiupan angin yang melompat lewat kisi-kisi jendela yang agak terdedah. Dengan apakah kulukiskan pertemuan kita, Kekasih? Chairil sempat bertanya seketika. Ah, tak cukup kata memberi makna, katamu. Dan isyarat sepasang angsa yang saling menggosokkan paruh-paruhnya. Bagaikan peladang kita pun sudah pula bertanam dan menebar benih. Kelak, katamu, akan ada buah yang bakal dipetik sebagai kebulatan hati yang begitu mudah terjadi tanpa paksa dan janji. Dan kita pun terus saja bertanam agar daun-daun yang bertumbuh kelak dapat menangkap fotosintesa matahari. Di tiap helai daun itu bermunculan nama kita sebagai sebuah keabadian. Andai matahari tak terbit lagi saat pagi merona, kita masih menyimpan sedikit cahaya di helai-helai daun yang berguncang dihembus angin sepanjang hari. Sungguh, matahari tak terbit pagi ini. Bagai aku kehilangan dirimu yang berhari-hari menangkap cahaya hingga memekarkan kelopak bunga di jiwa. Percintaan ini penuh wangi dan warna. Penuh hijau daun dan kupu- kupu yang menyemai spora di mahkota bunga. Begitulah saat kau berada jauh kembali ke garis hidupmu, aku begitu ternganga sebab cahaya tak ada. Memang, tak pernah matahari tak terbit memeluk bumi. Tapi, bagi kita, kala berada jauh, keadaan begitu gelap dan sunyi tiba-tiba. Kita merasa begitu kehilangan. Kita merasa ada yang terenggut tanpa sengaja. Serasa ada yang tercerabut dari akar yang semula menghunjam jauh di tanah. Kita bagaikan orang tak punya pilihan saat berada di persimpangan tak bertanda. Syukurlah, kita tak pernah kehilangan arah tempat bertuju di perjalanan berikutnya. Hidup ini penuh gurindam dan bidal Melayu yang memagari ruang dan langkah kita menuju titik terjauh yang harus dilompati. Kata-kata yang berdesakan di bait puisi dan lirik lagu menebar wangi hari-hari. takkan kutemui wanita seperti dirimu takkan kudapatkan rasa cinta ini kubayangkan bila engkau datang kupeluk bahagia kan daku kuserahkan seluruh hidupku menjadi penjaga hatiku Suara Ari Lasso lewat “Penjaga Hati” itu mengalir pelan-pelan dari tembok-tembok kegelapan yang mengepungku. Benar kata emak dulu, kita akan tahu akan makna sesuatu ketika ia telah berlalu. Apalagi berada jauh yang tak tersentuh. Matahari tak terbit pagi ini. Begitulah kita merasakan saat diri kita berada di kutub yang berjauhan. Diperlukan garis waktu untuk mempertemukan kedua tebing kutub itu. Atau, kita harus kuat merenangi laut salju yang kental atau menyelam di bawah bongkahan es yang dingin menyengat tubuh. Begitu diperlukan segala daya untuk menemukan sesuatu yang lenyap begitu cepat saat diri memerlukan setitik cahaya. Apa perasaanmu kini? Kau telan kesendirian itu di kejauhan sambil berharap matahari akan bercahaya segera menerangi kisi-kisi hati yang tersaput luka rindu kita. Andai kita bisa menolak gumpal awan dan menyeruakkan matahari kembali, begitulah takdir yang hendak kita bentangkan di kitab sejarah sepanjang masa. Tapi, kita akan cepat lelah. Menyeruakkan awan untuk menyembulkan garang matahari bukanlah hal yang mudah. Kita butuh sejuta tangan dan cakar untuk menaklukkan segenap awan dan matahari itu. Kau ingat kan, kisah Qays dan Laila atau Romeo dan Juliet yang memburaikan banyak kenangan bagi jutaan orang. Kau pun ada dalam bagian kisah yang tak pernah lekang di panas dan lapuk di hujan itu. Selalu ada manik-manik kasih mengalir di samudra kehidupan yang mahaluas ini. Meski kadangkala suaramu tersekat melempar tanya kala anugerah kasih ini terbit di ujung usia. Tak bolehkah kita mereguk kebahagiaan di sisa waktu yang masih tersedia meski semua jalan yang terbuka di depan bagai tak berujung jua. ”Aku takut bila aku berubah. Tapi tak akan pernah, pangeranku,” ucapmu pelan. Garis panjang waktu itu mendedahkan kemungkinan-kemungkinan yang sulit diraba. Banyak ancaman yang siap mengepung kita hingga merobek tabir setia. Ya, kesetiaan tak kasat-mata. Hanya ada di bilik hati. Ingin aku menjenguk bilik hatimu setiap saat, tapi tak bisa. Pintu hati itu tak setiap waktu bisa terbuka. Andai kau bangun esok pagi, nankan selalu matahari akan terbit seperti janji yang diucapkannya pada semesta. Di helai cahaya matahari itu selalu ada kehangatan yang meresap di keping-keping jiwamu Baca Juga; Cerita Pendek Robohnya Surau Kami Negosiasi Warga dengan Investor Faktor Penentu Keberhasilan Negosiasi Ciri Ciri Teks Negosiasi Hikayat Si Miskin
Ringkasancerpen matahari tak terbit pagi ini . kevinCMT Gelap dong kalo gak terbit wkwkwkwkw . 1 votes Thanks 6. Kelvinferlysanto Klo matahari yidak terbit pagi hari karna grahana matahari atau bulan aku lupa hehehe . 1 votes Thanks 0. More Questions From This User See All. Frus June 2019 | 0 Replies .
Pernahkah kau merasakan sesuatu yang biasa hadir mengisi hari-harimu, tiba-tiba lenyap begitu saja. Hari-harimu pasti berubah jadi pucat pasi tanpa gairah. Saat kau hendak mengembalikan sesuatu yang hilang itu dengan sekuat daya, namun tak kunjung tergapai. Kau pasti jadi kecewa seraya menengadahkan tangan penuh harap lewat kalimat doa yang tak putus-putusnya. Bukankah kau jadi kehilangan kehangatan karena tak ada helai-helai sinar ultraviolet yang membuat senyumnya begitu ranum selama ini. Matahari bagimu tentu tak sekadar benda langit yang memburaikan kemilau cahaya tetapi sudah menjadi sebuah peristiwa yang menyatu dengan ragamu. Bayangkanlah bila matahari tak terbit lagi. Tidak hanya kau tapi jutaan orang kebingungan dan menebar tanya sambil merangkak hati-hati mencari liang langit, tempat matahari menyembul secara perkasa dan penuh cahaya. Kaulah matahari itu, bidadariku. Berhari-hari kau merekat kasih hingga tak terkoyak oleh waktu, tiba-tiba kita harus berpencar di bawah langit menuju sudut-sudut yang kosong. Kekosongan itu kita bawa melewati jejalan kesedihan. Kita harus terpisah jauh menjalani kodrat diri yang termaktub di singgasana luhl mahfudz. Semula kita begitu dekat. Lantas terpisah jauh oleh lempengan waktu. Kita mengisi halaman-halaman kosong kehidupan kita dengan denyut nadi. Sesudahnya, kita bertemu bagai angin mengecup pucuk-pucuk daun dan berlalu begitu mudah. Dan kita pun bertemu lagi dengan perasaan yang asing hingga kita begitu sulit memahami siapa diri kita sebenarnya. Di ruang kosong yang semula dipenuhi pernik cahaya matahari, kita bertatap muka penuh gairah. Di penjuru ruang kosong itu bergantungan bola-bola rindu penuh warna dan aroma. Bola-bola itu bergesekan satu dengan lain mengalirkan irama-irama lembut Beethoven atau Papavarotti. Irama itu menyayat-nyayat hati kita hingga mengukir potongan sejarah baru. Bagaikan sepasang angsa putih yang menari-nari di bawah gemerlapan cahaya langit, sejarah itu terus ditulisi berkepanjangan. Lewat ratusan kitab, laksa aksara. Namun, setiap perjalanan pasti ada ujungnya. Setiap pelayaran ada pelabuhan singgahnya. Setiap cuaca benderang niscaya ditingkahi temaram bahkan kegelapan. Andai sejarah boleh terus diperpanjang membawa mitos dan legendanya, maka dirimu boleh jadi termaktub pada pohon ranji sejarah itu. Boleh jadi, kau akan tampil sebagai permaisuri atau pun Tuanku Putri yang molek. Mungkin, berada di bawah bayang-bayang Engku Putri Hamidah, Puan Bulang Cahaya atau pun siapa saja yang pernah mengusung regalia kerajaan yang membesarkan marwah perempuan. Aku tiba-tiba jadi kehilangan sesuatu yang begitu akrab di antara kutub-kutub kosong itu. Kusebut saja, kutub rindu. Aku tak mungkin menuangkan tumpukan warna di kanvas yang penuh garis dan kata ibarat sebab lukisan agung ini tak kunjung selesai. Masih diperlukan banyak sentuhan kuas dan cairan cat warna-warni hingga lukisan ini mendekati sempurna. Kita telah menggoreskan kain kanvas kosong itu sejak mula hingga waktu jeda yang tanpa batas. Masih ingatkah kau bagaimana langit-langit kamar itu penuh getar dan kabar. Tiap pintu dan tingkap dipenuhi ikrar kita. Dan bola lampu temaram memburaikan janji-janji. Sebuah percintaan agung sedang dipentaskan di bawah arahan sutradara semesta. Kau membilang percik air yang berjatuhan di danau kecil di sudut pekarangan jiwa dalam kecup dan harum mawar. Bahkan, tubuh kita terguyuri embun yang terbang menembus kisi-kisi tingkap hingga tubuh kita jadi dingin. Malam-malam penuh mimpi dan keceriaan bagaikan sepasang angsa yang mengibas-ngibaskan bulu-bulu beningnya. Kau redupkan cahaya lampu di tiap penjuru hingga sejarah dapat dituliskan secara khidmat dan penuh makna. Kau menatap langit-langit kamar sambil membisikkan untaian puisi yang kau tulis dengan desah napasmu. Kita merecup semua getar irama percintaan itu tiada batas. Malam itu siapa pun tak butuh matahari. Sebab, ada bulan yang bersaksi. Kita hanya butuh setitik cahaya guna penentu arah belaka. Selebihnya sunyi menyebat kita dan tiupan angin yang melompat lewat kisi-kisi jendela yang agak terdedah. Dengan apakah kulukiskan pertemuan kita, Kekasih? Chairil sempat bertanya seketika. Ah, tak cukup kata memberi makna, katamu. Dan isyarat sepasang angsa yang saling menggosokkan paruh-paruhnya. Bagaikan peladang kita pun sudah pula bertanam dan menebar benih. Kelak, katamu, akan ada buah yang bakal dipetik sebagai kebulatan hati yang begitu mudah terjadi tanpa paksa dan janji. Dan kita pun terus saja bertanam agar daun-daun yang bertumbuh kelak dapat menangkap fotosintesa matahari. Di tiap helai daun itu bermunculan nama kita sebagai sebuah keabadian. Andai matahari tak terbit lagi saat pagi merona, kita masih menyimpan sedikit cahaya di helai-helai daun yang berguncang dihembus angin sepanjang hari. Sungguh, matahari tak terbit pagi ini. Bagai aku kehilangan dirimu yang berhari-hari menangkap cahaya hingga memekarkan kelopak bunga di jiwa. Percintaan ini penuh wangi dan warna. Penuh hijau daun dan kupu-kupu yang menyemai spora di mahkota bunga. Begitulah saat kau berada jauh kembali ke garis hidupmu, aku begitu ternganga sebab cahaya tak ada. Memang, tak pernah matahari tak terbit memeluk bumi. Tapi, bagi kita, kala berada jauh, keadaan begitu gelap dan sunyi tiba-tiba. Kita merasa begitu kehilangan. Kita merasa ada yang terenggut tanpa sengaja. Serasa ada yang tercerabut dari akar yang semula menghunjam jauh di tanah. Kita bagaikan orang tak punya pilihan saat berada di persimpangan tak bertanda. Syukurlah, kita tak pernah kehilangan arah tempat bertuju di perjalanan berikutnya. Hidup ini penuh gurindam dan bidal Melayu yang memagari ruang dan langkah kita menuju titik terjauh yang harus dilompati. Kata-kata yang berdesakan di bait puisi dan lirik lagu menebar wangi hari-hari. takkan kutemui wanita seperti dirimu takkan kudapatkan rasa cinta ini kubayangkan bila engkau datang kupeluk bahagia kan daku kuserahkan seluruh hidupku menjadi penjaga hatiku Suara Ari Lasso lewat Penjaga Hati itu mengalir pelan-pelan dari tembok-tembok kegelapan yang mengepungku. Benar kata emak dulu, kita akan tahu akan makna sesuatu ketika ia telah berlalu. Apalagi berada jauh yang tak tersentuh. Matahari tak terbit pagi ini. Begitulah kita merasakan saat diri kita berada di kutub yang berjauhan. Diperlukan garis waktu untuk mempertemukan kedua tebing kutub itu. Atau, kita harus kuat merenangi laut salju yang kental atau menyelam di bawah bongkahan es yang dingin menyengat tubuh. Begitu diperlukan segala daya untuk menemukan sesuatu yang lenyap begitu cepat saat diri memerlukan setitik cahaya. Apa perasaanmu kini? Kau telan kesendirian itu di kejauhan sambil berharap matahari akan bercahaya segera menerangi kisi-kisi hati yang tersaput luka rindu kita. Andai kita bisa menolak gumpal awan dan menyeruakkan matahari kembali, begitulah takdir yang hendak kita bentangkan di kitab sejarah sepanjang masa. Tapi, kita akan cepat lelah. Menyeruakkan awan untuk menyembulkan garang matahari bukanlah hal yang mudah. Kita butuh sejuta tangan dan cakar untuk menaklukkan segenap awan dan matahari itu. Kau ingat kan, kisah Qays dan Laila atau Romeo dan Juliet yang memburaikan banyak kenangan bagi jutaan orang. Kau pun ada dalam bagian kisah yang tak pernah lekang di panas dan lapuk di hujan itu. Selalu ada manik-manik kasih mengalir di samudera kehidupan yang maha-luas ini. Meski kadangkala suaramu tersekat melempar tanya kala anugerah kasih ini terbit di ujung usia. Tak bolehkah kita mereguk kebahagiaan di sisa waktu yang masih tersedia meski semua jalan yang terbuka di depan bagai tak berujung jua. "Aku takut bila aku berubah. Tapi tak akan pernah, pangeranku," ucapmu pelan. Garis panjang waktu itu mendedahkan kemungkinan-kemungkinan yang sulit diraba. Banyak ancaman yang siap mengepung kita hingga merobek tabir setia. Ya, kesetiaan tak kasat-mata. Hanya ada di bilik hati. Ingin aku menjenguk bilik hatimu setiap saat, tapi tak bisa. Pintu hati itu tak setiap waktu bisa terbuka. Andai kau bangun esok pagi, nankan selalu matahari akan terbit seperti janji yang diucapkannya pada semesta. Di helai cahaya matahari itu selalu ada kehangatan yang meresap di keping-keping jiwamu. Cerpen Fakhrunnas MA Jabbar . 408 164 324 153 368 39 465 248

sinopsis cerpen matahari tak terbit pagi ini